Mengenai kolaborasi, menurutnya, komunitas periset sudah mulai menyadarinya sejak mulai pandemi. “Sejak itu, kita mulai mengubah cara berfikir bahwa kita tidak bisa berjalan sendirian,” ungkapnya.
Setelah pandemi ada perang, menurut Handoko, itu menunjukkan hal yang berbeda. Namun ini membuktikan energi dan pangan biodiversitas memang sesuatu yang sulit dikolaborasikan, karena tata kelolanya juga belum pernah ada.
Baca Juga:
Prabowo Lantik Arif Satria sebagai Kepala BRIN, Tekankan Pentingnya Riset dan Inovasi untuk Kemajuan Bangsa
“Untuk itu momen G20 dinilai tepat untuk mendukung inisiatif Indonesia melakukan tata kelola tersebut,” tambahnya.
Konkretnya, ia menyebutkan, Indonesia memiliki 30 ribuan species di darat, belum di laut. Hanya 50 species yang sudah benar-benar jadi obat. “Mengapa hanya sedikit? Karena kita belum mampu melakukan riset sendirian hingga menjadi produk. Untuk itu perlu kolaborasi,” tegasnya.
“Sekarang, kita sudah jauh lebih percaya diri karena kita punya kapasitas dan kompetensi dan sumber daya yang sudah terintegrasi. Kita punya standing position yang lebih kuat sebagai inisiator dan leader tata kelola riset kolaborasi,” tandasnya.
Baca Juga:
Prabowo Lantik Arif Satria dan Amarulla Octavian sebagai Kepala dan Wakil Kepala BRIN
Setelah integrasi di BRIN, Indonesia punya fasilitas infrastruktur riset yang diperhitungkan. Misalnya, Indonesia memiliki armada kapal riset yang terbesar di antara negara G20. “Kita berharap hasil riset berskala global yang bukan hanya untuk Indonesia tapi juga dunia,” pungkasnya. [jat]