WahanaListrik.com | Penerapan teknologi carbon capture and storage (CCS) atau penangkapan karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) hingga kini masih menjadi tantangan tersendiri bagi PLN.
Sebab investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan teknologi ini sangat mahal.
Baca Juga:
PLN Gelar Apel Siaga Kelistrikan, Pastikan Keandalan Pelayanan KTT WWF 2024 di Bali
Executive Vice President (EVP) Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN Edwin Nugraha Putra mengatakan total emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan PLN pada 2030 mendatang diperkirakan mencapai 330 juta ton. Dari jumlah itu, hampir 300 juta ton dihasilkan dari proses pembakaran PLTU batu bara.
Sementara, sisanya yakni 30 juta ton berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar gas. Karena itu implementasi teknologi penangkapan karbon menjadi suatu keharusan, sekalipun masih belum ekonomis.
"Harganya sekarang masih mahal, hampir sama seperti membeli PLTU baru sekitar US$ 6 sen per kwh dampaknya," kata dia dalam webinar Masa Depan Industri Batu bara Menuju Transisi Energi, Selasa (14/12).
Baca Juga:
Jelang KTT WWF ke-10 di Bali, PLN Siapkan 52 Charging Station untuk Layani Ratusan Kendaraan Listrik Delegasi
PLN pun berencana akan mengimplementasikan CCS setelah pembangkit PLTU dalam kondisi fully depreciated. Artinya, komponen-komponen yang ada di dalam perjanjian jual beli listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) dengan perusahaan listrik swasta yakni IPP lunas terlebih dulu.
"Sehingga ketika beli CCS maka harga akan kembali normal seperti dulu, tidak ada tambahan dua kali lipat," ujarnya. Simak databoks berikut:
Meski demikian, perusahaan setidaknya harus menunggu jangka waktu hingga 25 tahun ke depan untuk selesainya kontrak PLTU dengan IPP. Hal tersebut tentu tidak mudah bagi PLN. Sebab beberapa lender mensyaratkan, akan memberikan bantuan pembangunan pembangkit EBT baru jika PLN mengoperasikan PLTU maksimum hanya 30%.