Konsumenlistrik.com | Presiden AS, Joe Biden, meminta perusahaan swasta dan organisasi di negaranya untuk waspada terhadap kemungkinan serangan siber oleh Rusia. Inggris pun memberi peringatan serupa.
Rusia dikenal sebagai negara adidaya dunia maya dengan persenjataan alat siber yang memadai. Belum lagi sumber daya hacker canggih yang mampu melakukan serangan siber dengan cara mengganggu dan berpotensi merusak.
Baca Juga:
Komnas HAM Kutuk Israel Atas Serangan di Lebanon yang Melukai 2 Prajurit TNI
Meski demikian, negara beruang itu selalu membantah jika dikaitkan dengan serangan siber yang terjadi di negara-negara barat.
Tak hanya Ukraina yang menjadi incaran Rusia, negara-negara lain yang mendukung Ukraina seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa juga diklaim terkena imbas serangan siber.
Dikutip dari BBC, Sabtu (26/3/2022), berikut peretasan yang paling ditakuti para Rusia.
Baca Juga:
Imbas Serangan Israel ke Markas PBB UNIFIL Lebanon, 2 Personel TNI Terluka
BlackEnergy
Ukraina dari dulu sering disebut tempat uji coba Rusia melancarkan serangan siber.
Pada 2015, jaringan listrik Ukraina terganggu oleh serangan siber yang disebut BlackEnergy dan menyebabkan pemadaman jangka pendek bagi 80.000 pelanggan perusahaan utilitas di Ukraina barat.
Setahun kemudian serangan siber lain yang dikenal sebagai Industroyer mengambil alih listrik sekitar seperlima dari Kyiv, Ibu Kota Ukraina, selama sekitar satu jam. Akibat serangan ini, AS dan UE menyalahkan peretas militer Rusia.
NotPetya
NotPetya dianggap sebagai serangan siber paling mahal dalam sejarah. Bahkan otoritas AS, Inggris, dan Eropa menyalahkan sekelompok peretas militer Rusia atas serangan ini.
Diketahui NotPetya disembunyikan dalam pembaruan perangkat lunak akuntansi yang digunakan di Ukraina. Namun NotPetya menyebar ke seluruh dunia dan menghancurkan sistem komputer ribuan perusahaan serta menyebabkan kerusakan sekitar US$ 10 miliar (Rp143 triliun).
Sebulan sebelum peristiwa NotPetya, Korea Utara dituduh menyebabkan gangguan besar dengan serangan serupa. Dijuluki Worm WannaCry, virus ini mengacak data di sekitar 300.000 komputer pada 150 negara, yang menyebabkan layanan Kesehatan Nasional Inggris terpaksa membatalkan sejumlah besar janji temu medis.
Namun, ilmuwan komputer dari University of Surrey Prof Alan Woodward mengatakan serangan semacam itu juga membawa risiko bagi Rusia.
"Jenis peretasan yang tidak terkendali ini lebih seperti perang biologis, karena sangat sulit untuk menargetkan infrastruktur kritis tertentu di tempat-tempat tertentu. WannaCry dan NotPetya juga melihat korban di Rusia," ujar Woodward dikutip, Sabtu (26/3/2022).
Colonial Pipeline
Pada Mei 2021, keadaan darurat diumumkan di sejumlah negara bagian AS setelah peretas menyebabkan jaringan pipa minyak yang vital ditutup. Serangan ini tidak dilakukan oleh peretas pemerintah Rusia, melainkan oleh kelompok ransomware DarkSide yang diduga berbasis di Rusia.
Perusahaan pipa tersebut mengaku membayar hacker sebesar US$ 4,4 juta dalam Bitcoin yang sulit dilacak, untuk mendapatkan kembali sistem komputer dan berjalan.
Beberapa minggu kemudian pasokan daging terpengaruh ketika ransomware lain bernama REvil menyerang pengolah daging sapi terbesar di dunia JBS
Salah satu ketakutan besar para ahli tentang kemampuan dunia maya Rusia adalah bahwa Kremlin dapat menginstruksikan kelompok kejahatan dunia maya untuk mengkoordinasikan serangan terhadap target AS demi memaksimalkan gangguan.
"Manfaat menginstruksikan penjahat dunia maya untuk melakukan serangan ransomware adalah kekacauan umum yang dapat mereka timbulkan. Dalam jumlah yang cukup besar mereka dapat menyebabkan kerusakan ekonomi yang serius," kata Woodward. [tum]