Konsumenlistirk.com | Di seluruh Sri Lanka, rak supermarket kosong dan restoran tidak dapat menyajikan makanan lengkap karena kekurangan makanan akut dan inflasi yang tinggi.
Banyak orang harus berhemat dan menekan pengeluaran, termasuk hanya makan dua kali sehari.
Baca Juga:
Soal Kelaparan-Stunting, Prabowo: Butuh Aksi Nyta Tak Usah Lagi FGD
Contohnya, Mr Karunaratne hanya memiliki satu pekerjaan dalam dua tahun terakhir, begitu pandemi dan tidak ada wisatawan, pendapatannya berkurang drastis.
Adapun tercatat, cadangan devisa Sri Lanka telah berkurang sejak Presiden Gotabaya Rajapaksa menjabat pada 2019, dari US$7,5 miliar menjadi US$3,1 miliar Desember lalu, karena pendapatan utama pariwisata menyusut di tengah pandemi.
Negara kepulauan itu menghadapi krisis ekonomi dan kebangkrutan tahun ini karena banyak tuntutan terhadap dollar Amerika Serikat (AS) yang menyusut.
Baca Juga:
Prabowo Tegaskan Tak Boleh Ada Orang Lapar di RI
Ketika orang-orang Sri Lanka menghadapi kekurangan pangan akut dan inflasi 14%, sebuah perdebatan berkecamuk tentang apakah pemerintah harus memprioritaskan kewajiban utang luar negeri daripada memberi makan rakyatnya yang kelaparan. Kolombo memiliki hampir US$7,3 miliar utang luar negeri yang jatuh tempo tahun ini.
"Kami memiliki utang yang tinggi dari tiga negara Cina, Jepang dan India," kata Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, dikutip dari straitstimes, Selasa (2/1/2022).
Sri Lanka ingin mengatasi peringkat kredit globalnya yang rendah dengan membayar semua utang sehingga dapat terus meminjam di pasar internasional dengan harga yang terjangkau.
Tetapi para ahli dan partai-partai oposisi percaya bahwa pemerintah seharusnya memfokuskan devisanya yang terbatas untuk meringankan perjuangan rakyat dengan mengimpor kebutuhan pokok seperti beras, susu dan minyak mentah untuk listrik. Persediaan penting telah mengering karena banyak alasan yang saling berhubungan.
Larangan Presiden Rajapaksa terhadap pupuk tahun lalu, untuk membaptis Sri Lanka sebagai negara pertanian organik pertama di dunia, menciptakan apa yang oleh para ekonom lokal disebut "krisis agraria buatan manusia".
Hasil panen sayuran dan padi selalu rendah, membuat makanan langka dan mahal. Untuk menutupi kekurangan tersebut, pemerintah harus mengimpor lebih banyak makanan, yang semakin tidak terjangkau mengingat utangnya, belanja infrastruktur yang tinggi, dan pemotongan pajak yang populis.
Inflasi makanan mencapai rekor 21,5% pada Desember, naik dari 16,9% pada November dan 7,5% tahun lalu.
Menurut perkiraan Bank Dunia, 500.000 orang Sri Lanka telah jatuh di bawah garis kemiskinan sejak pandemi Covid-19, sebuah "kemunduran besar yang setara dengan kemajuan selama lima tahun". [tum]