Energynews.id | Subsidi energi yang dikeluarkan pemerintah makin bengkak hingga Rp 500 triliun. Menurut Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) hal ini sangat memberatkan keuangan negara.
Beban subsidi menurutnya sudah mendekati 30% dari total pendapatan di APBN. Hal ini diungkapkan Zulhas saat memaparkan Gagasan dan Visi Misi Koalisi Indonesia Bersatu. Di acara itu dia menyampaikan gagasan sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).
Baca Juga:
Menteri BUMN Erick Thohir Tanggapi Isu Pasangan Calon Nomor Urut 2
"Subsidi energi tahun 2022 membengkak sampai lebih dari Rp 500 triliun, di tahun 2023 itu bisa saja sampai Rp 600 triliun atau mendekati 30% pendapatan APBN kita," papar Zulhas dalam acara Penyampaian Visi Misi yang disiarkan secara virtual di channel YouTube PAN Jatim, dikutip Senin (15/8/2022).
Zulhas mengatakan subsidi energi memang memberatkan pemerintah, bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyampaikan kegelisahannya soal subsidi selama lima kali dalam waktu-waktu dekat ini. Meski begitu, dia bilang subsidi tetap harus diberikan dan ditanggung negara untuk masyarakat.
"Beban subsidi energi ini memberatkan kita semua. Bapak Presiden sudah lima kali bicara dengan sangat prihatin. Memang paska pandemi ekonomi dalam pemulihan dan daya beli masyarakat masih rendah, hingga bagaimanapun subsidi harus ditanggung negara," jelas Zulhas.
Baca Juga:
Realisasi Subsidi Energi Tembus Rp157 Triliun, Tertinggi Sejak 2015
Namun, Zulhas tetap berpendapat subsidi mesti segera dikontrol pemerintah. Dia menyinggung selama ini masih banyak orang mampu yang masih merasakan subsidi.
"Secara jangka panjang problem ini harus bisa diatasi, sehingga subsidi tak menyasar lebih banyak pada orang mampu dan kaya. Subsidi harus tepat sasaran. PAN berpendapat subsidi harus lebih berkeadilan, berkelanjutan dan mensejahterakan," kata Zulhas.
Solusi Kontrol Subsidi
Atas kegelisahannya soal subsidi itu, Zulhas pun menawarkan dua solusi. Pertama, subsidi energi harus dialihkan bentuknya dari yang berbasis komoditas menjadi subsidi langsung. Kedua, percepatan transformasi energi bersih nan ramah lingkungan harus digenjot pemerintah.
Zulhas memberikan usulan agar subsidi diberikan secara langsung kepada masyarakat miskin, yang menurutnya ada sekitar 26 juta orang di Indonesia.
"Subsidi langsung harus diberikan pada warga kita yang miskin, menurut BPS jumlahnya itu 26 juta orang," ujar Zulhas.
Skema yang dia usulkan adalah memberikan subsidi langsung sebesar Rp 500-900 ribu untuk 26 juta penerima manfaat di Indonesia. Dia memperkirakan 26 juta penerima manfaat ini butuh konsumsi energi untuk maksimal 2 motor, 2 gas LPG 3 kg per bulan, dan listrik dengan kapasitas maksimal 900 watt.
Dari hitungannya, bila skema itu diterapkan Indonesia hanya butuh mengeluarkan subsidi sebesar Rp 180 triliun per tahun. Jauh dari angka subsidi yang saat ini diberikan di level Rp 500 triliun.
"Dengan subsidi BBM, LPG, dan listrik bagi warga tak mampu Rp 500-900 ribu per orang per bulan, kita hanya akan menanggung Rp 15 triliun per bulan atau sekitar Rp 180 triliun per tahun," sebut Zulhas.
Nah untuk solusi kedua menurutnya pemerintah harus mempercepat transformasi energi ramah lingkungan untuk menghindari gejolak harga minyak dan gas yang bergerak liar.
Hal itu bisa dilakukan dengan melakukan percepatan pemakaian kendaraan listrik, memperbanyak penggunaan kompor listrik bagi rumah tangga, memperluas dan memperbanyak titik-titik pengisian baterai kendaraan listrik, hingga memperbanyak pasokan listrik dari energi baru dan terbarukan.
"Transformasi energi bersih ini bakal menggunakan banyak bahan yang berasal dari dalam negeri kita. Dengan demikian sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja kita. Artinya kesejahteraan meningkat," tutur Zulhas. [jat]