Energynews.id | Pemerintah mengaku belum berniat melakukan ekspor energi baru terbarukan (EBT).
Langkah ini dilakukan sebagai wujud komitmen pemerintah untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dalam negeri sebelum melakukan ekspor. Saat ini pemerintah sedang dalam proses transisi dari energi fosil menuju EBT
Baca Juga:
Pj Sekda Terima Surat Keputusan Rapat Pleno Terbuka Calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih
“Saya baru dapat arahan, pemerintah Indonesia belum berpikir untuk ekspor EBT kepada negara manapun,” ucap Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam acara Road to G20: Investment Forum "Mendorong Percepatan Investasi Berkelanjutan dan Inklusif" pada Rabu (18/5/2022).
Dia mendorong investor di bidang EBT untuk melakukan investasi di Indonesia. Namun, produk EBT tidak akan diekspor agar industri bisa terbangun di dalam negeri.
"Silakan investasi di Kepri, monggo, tapi kami belum terpikir untuk ekspor EBT ke negara mana pun. Karena kita akan pakai dulu di dalam negeri, cukup dulu. Silahkan investasi di dalam negeri. Karena kalau listriknya kita jual ke negara lain, maka industri akan lari ke sana," kata Bahlil.
Baca Juga:
Hibah Ambulance dari Pemerintah Jepang Wujud Perhatian Percepatan Pelanyanan Kesehatan
Dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang ada, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan EBT.
Untuk ke depan tren industri juga mengarah pada produk-produk yang dihasilkan oleh EBT. Oleh karena itu, pemerintah sedang menangkap peluang ini.
"EBT harus dilakukan sebab tidak akan mungkin produk yang dihasilkan lewat industri itu akan laku di global kalau tidak pakai EBT. Di dunia orang cek, pakai batu bara atau EBT. Kalau batu bara, mungkin laku, tapi pasti (harganya) jatuh," kata Bahlil.
Dari sisi investasi, pemerintah gencar melakukan hilirisasi terhadap produk SDA, sehingga bisa menghasilkan nilai tambah.
Pemerintah sudah menghentikan ekspor nikel, sebentar lagi pemerintah akan menghentikan ekspor bauksit dan timah. “Kita insyaf sama-sama, sudah saatnya negara maju stop kelakuan lama,” ucap Bahlil.
Dengan pelarangan ekspor nikel, pada tahun 2022 ini ekspor hilirisasi dari stainless steel sudah mencapai US$ 20 miliar bahkan sekarang defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok tidak lebih dari US$ 2 miliar.
“Di 2022 ini pasti akan terjadi surplus neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok karena kontribusi dari hilirisasi nikel,” ucap dia.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, Indonesia memiliki berbagai macam kekayaan mineral dan aneka Tambang yang dibutuhkan dunia.
Misalnya pada komunitas nikel Indonesia berhasil menempati posisi teratas sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia dengan kapasitas produksi sebanyak 21 juta ton per tahun.
Indonesia juga memiliki potensi energi baru dan terbarukan yang sangat besar berasal dari energi surya, hydro energy, angin, dan panas bumi.
“Sayangnya dalam membangun ekosistem serta memfasilitasi energi seperti pembangunan smelter dan pengembangannya EBT diperlukan biaya yang tidak sedikit sehingga investasi memainkan peran yang sangat krusial,” ucap Arsjad.
Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan promosi investasi terhadap proyek-proyek dan sektor-sektor unggulan Indonesia terutama pada hilirisasi dan juga EBT.
“Hal ini dapat dimaksimalkan melalui event G20 dan juga B20 sebagai investment showcase bagi sektor unggulan ,” kata Arsjad. [jat]