Energynews.id | Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, memperkirakan terus melambungnya harga minyak dunia akibat perang Rusia - Ukraina akan memukul PT Pertamina (Persero).
Pasalnya, hingga kini perusahaan pelat merah itu belum menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertamax dan Pertalite.
Baca Juga:
Jokowi Pikir-pikir Beli Minyak Rusia, Lebih Banyak Untung atau Ruginya?
Mamit menyebutkan, kenaikan harga minyak dunia telah mengerek harga minyak acuan yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Mean of Platts Singapore (MOPS) maupun Argus. Harga minyak acuan itu digunakan untuk menghitung harga BBM dalam negeri.
Sesuai Keputusan Menteri ESDM No 62 Tahun 2020, kata Mamit, penentuan harga BBM nasional mengacu pada harga MOPS.
Untuk BBM di bawah RON 95 dan solar CN 48 menggunakan rumus MOPS atau Argus + Rp 1.800 per liter plus margin 10 persen dari harga dasar.
Baca Juga:
Menteri ESDM: Harga BBM Pertalite Berpeluang Turun
Adapun konstanta Rp 1.800 per liter mencakup alpha pengadaan, biaya penyimpanan, dan biaya distribusi.
Sedangkan untuk bensin RON 95, RON 98 dan solar CN 51, kata Mamit, menggunakan rumus MOPS atau Argus + Rp 2.000 per liter plus margin (plus minus 10 persen) dari harga dasar.
Adapun harga ideal Pertamax ditentukan dari harga dasar serta kurs dolar AS acuan pada bulan berjalan.
Sebagai contoh, dengan menggunakan rata-rata bulan Maret 2022 dengan kurs Rp 14.411 maka akan diperoleh harga dasar Pertamax sebesar Rp 9.000 per liter, kemudian ditambahkan dengan konstanta Rp 1.800 dan margin 10 persen maka harga Pertamax menjadi Rp 11.880 per liter di luar pajak.
"Jika ditambah dengan PPn 10 persen, PBBKB 5 persen serta PPH 3 persen maka harga Pertalite adalah Rp 14.018 per liter," ujar Mamit ketika dihubungi, Senin lalu, 7 Maret 2022.
Dengan harga Pertamax saat ini masih di angka Rp 9.000 per liter, menurut dia, Pertamina menanggung kerugian sebesar Rp 5.018 per liter.
Sedangkan harga Pertalite masih Rp 7.650 per liter, BUMN di bidang migas itu akan merugi Rp 6.368 per liter.
Lebih jauh, Mamit menambahkan, bahwa sesuai Peraturan Menteri ESDM No 62 Tahun 2020, badan usaha sebetulnya bisa melakukan penyesuaian harga dengan mengajukan kepada pemerintah dalam hal ini Dirjen Migas.
"Badan usaha swasta telah beberapa kali menyesuaikan harga jual mereka. Jadi sudah sepatutnya Pertamina juga menyesuaikan harga BBM mereka," katanya.
Menurut dia, jika ingin Pertamina terhindar dari kerugian yang lebih dalam, pemerintah perlu memberikan persetujuan penyesuaian harga BBM yang baru.
“Menaikkan harga (Pertamax) adalah solusinya. Karena beban pemerintah untuk BBM penugasan dan jenis tertentu saja sudah cukup berat,” katanya.
Harga minyak dunia sebelumnya diberitakan naik 4 persen pada perdagangan Selasa atau Rabu pagi WIB ini usai Amerika Serikat memutuskan melarang impor minyak dari Rusia.
Harga komoditas itu juga melonjak setelah Inggris akan mengikuti langkah negara Abang Sam tersebut secara bertahap hingga akhir tahun ini.
Keputusan-keputusan tersebut diprediksi bakal lebih mengganggu pasar energi global karena Rusia pengekspor minyak mentah terbesar kedua.
Harga minyak mentah berjangka jenis Brent untuk pengiriman Mei naik US$ 4,77 atau 3,9 persen menjadi US$ 127,98 per barel. Harga komoditas tersebut sebelumnya mencapai tertinggi sesi yakni US$ 133,09.
Sedangkan harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS naik US$ 4,30 atau 3,6 persen menjadi US$ 123,7 per barel. Sebelumnya, harga komoditas itu menembus rekor tertinggi sesi US$ 129,4.
Sejak Rusia menyerang Ukraina pada pekan akhir Februari lalu, harga minyak dunia meroket hingga lebih dari 30 persen.
Tindakan Moskow itu dibalas dengan Amerika Serikat serta negara-negara lain dengan memberlakukan serangkaian sanksi. Sanksi itu di antaranya menghambat ekspor minyak dan gas Rusia.
Presiden AS Joe Biden sebelumnya telah resmi mengumumkan larangan impor minyak Rusia dan energi lainnya.
Inggris mengatakan akan menghentikan impor minyak dan produk minyak dari Rusia pada akhir 2022. Kebijakan ini diambil untuk memberi pasar dan bisnis waktu untuk menemukan alternatif.
Sebagai catatan, Rusia memasok 7 juta hingga 8 juta barel per hari minyak mentah dan bahan bakar ke pasar global.
Meski nilai impor minyak Amerika Serikat dari Rusia selama ini sangat sedikit, analis menilai, larangan itu mengisyaratkan penurunan pasokan minyak makin besar di dunia. [jat]